Sabtu, 29 Mei 2010

Multiverse atau Parallel Universe (Dunia Paralel)


Beberapa aya dalam Al-Qur'an yang menyatakan bahwa ada tujuh langit. Ayat - ayat tersebut adalah :



Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. Al Baqarah : 29)
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit

Jumat, 28 Mei 2010

Menggambar Hambatan



Alat dan Bahan

1. LED warna Hijau atau kuning

2. 9V baterai

3. buaya klip

4. 2 x 20 cm panjang kawat berisolasi

5. Gunting

6. kertas tulis

7. Grafit pensil (2B atau lebih gelap)

Apa yang harus dilakukan

1. Sebagian besar toko elektronik menjual kabel dengan klip buaya sudah terpasang. Dapatkan ini jika Anda mau, atau menggunakan gunting untuk berhati-hati strip sekitar 1 cm dari isolasi dari masing-masing ujung kawat. Buaya melampirkan klip untuk setiap ujungnya. Ulangi dengan kawat kedua.

2. Klip salah satu ujung kabel ke '+' terminal baterai Anda, dan ujung yang lain ke kaki panjang (anoda) dari LED.

3. Ambil kawat kedua dan melampirkannya pada '-' terminal baterai Anda. Singkat menyentuh ujung yang lain ke kaki pendek (katoda) dari LED untuk memastikan bekerja. Jangan melampirkan klip kedua LED - itu bisa terbakar LED Anda jika dikaitkan bersama-sama terlalu lama.

4. Pada kertas, menggambar kotak 1 cm lebar 5 cm panjang dan warna dalam dengan pensil grafit Anda, sehingga berat dan gelap mungkin.

5. Menyentuh katoda dari LED Anda ke salah satu ujung kotak. Menyentuh ujung longgar buaya kedua klip ujung kotak, dan perlahan-lahan membawa mereka lebih dekat bersama-sama. Apa yang terjadi pada cahaya LED?

Apa yang terjadi?

1. Pembuluh darah Anda memiliki cara yang agak bagus untuk menghentikan darah mengalir kembali dengan cara yang salah - kelepak kecil yang disebut 'katup' mempertahankan arah aliran darah melalui tubuh Anda. Beberapa elektronik juga perlu memastikan hanya saat ini pernah mengalir dalam satu arah. Untuk melakukan ini, mereka menggunakan komponen yang disebut dioda yang bertindak sedikit mirip katup listrik.

2. Dioda dalam kegiatan ini juga memancarkan cahaya ketika listrik mengalir melalui itu. Semakin cepat arus listrik, semakin terang cahaya. Namun, terlalu banyak saat ini akan menyebabkan materi dalam melakukan dioda membakar, menghancurkan LED. Apa yang dibutuhkan adalah cara yang sederhana untuk mengontrol jumlah listrik melewatinya. Jawabannya? Sebuah resistor, yang memperlambat arus ke tingkat yang dapat menangani rangkaian.

3. Menggambar kotak Anda bertindak sebagai variabel Resister; jarak antara sirkuit anoda dan katoda dapat bervariasi dengan jumlah grafit, mengubah jumlah hambatan di aliran listrik.

4. Grafit pada pensil anda sedikit lebih dari lembaran atom karbon bergabung bersama sedemikian rupa sehingga terdapat cadangan elektron yang tersedia, memungkinkan listrik melewatinya. Semakin panjang jarak listrik harus perjalanan, semakin grafit yang dibutuhkan untuk melewati, yang hanya memperlambat turun lebih lanjut.

Penerapan

1. Hambatan diukur dalam satuan yang disebut 'ohm'. Hukum menggambarkan hubungan antara ohm, volt (atau listrik push) dan ampli (arus, atau kecepatan) adalah:



Ohms = Volts ÷ Amps



2. Ini masuk akal jika Anda berpikir tentang hal ini, jika Anda mendorong dengan kekuatan lebih tanpa membuat sesuatu bergerak lebih cepat, akan ada lebih banyak hambatan. Demikian juga, memperlambat saat ini tanpa mengubah cara mendorong keras itu juga akan meningkatkan hambatan.

3. Bahan yang berbeda akan menghantarkan listrik pada kecepatan yang berbeda. Grafit tidak sebagus pada elektron melakukan seperti kebanyakan logam, sehingga resistor yang baik. Namun, resistor juga dapat dibuat dari kawat panjang panjang. Dengan membuat perjalanan listrik lebih jauh, itu terpaksa melambat.

4. Resistor memiliki peran penting dalam setiap rangkaian dengan mengendalikan jumlah tepat daya yang melewati komponen-komponennya, menghentikan mereka dari overheating dan pecah.



download modul selengkapnya

Kamis, 27 Mei 2010

Dapatkah Bakteri Membuat Anda Lebih Pintar?

Terjangkit bakteri tertentu di sekitar lingkungan kita dipercaya bisa memberikan antidepresan dan bisa meningkatkan daya belajar, menurut penelitian yang dipresentasikan pada pertemuan ke-110 Himpunan Mikrobiologi Amerika di San Diego.



"Mycobacterium vaccae adalah sebuah bakteri tanah alami yang cenderung termakan atau terhirup manusia ketika berada di alam sekitar," kata Dorothy Matthews dari

ARCHIMEDES

Archimedes dari Syracusa (sekitar 287 SM - 212 SM) Ia belajar di kota Alexandria, Mesir. Pada waktu itu yang menjadi raja di Sirakusa adalah Hieron II, sahabat Archimedes. Archimedes sendiri adalah seorang matematikawan, astronom, filsuf, fisikawan, dan insinyur berbangsa Yunani. Ia dibunuh oleh seorang prajurit Romawi pada penjarahan kota Syracusa, meskipun ada perintah dari jendral Romawi, Marcellus bahwa ia tak boleh dilukai. Sebagian sejarahwan matematika memandang Archimedes sebagai salah satu matematikawan terbesar sejarah, mungkin bersama-sama Newton dan Gauss. Penemuannya:

Pada suatu hari Archimedes dimintai Raja Hieron II untuk menyelidiki apakah mahkota emasnya dicampuri perak atau tidak. Archimedes memikirkan masalah ini dengan sungguh-sungguh. Hingga ia merasa sangat letih dan menceburkan dirinya dalam bak mandi umum penuh dengan air. Lalu, ia memperhatikan ada air yang tumpah ke lantai dan seketika itu pula ia menemukan jawabannya. Ia bangkit berdiri, dan berlari sepanjang jalan ke rumah dengan telanjang bulat. Setiba di rumah ia berteriak pada istrinya, "Eureka! Eureka!" yang artinya "sudah kutemukan! sudah kutemukan!" Lalu ia membuat hukum Archimedes.

Dengan itu ia membuktikan bahwa mahkota raja dicampuri dengan perak. Tukang yang membuatnya dihukum mati.

Penemuan yang lain adalah tentang prinsip matematis tuas, sistem katrol yang didemonstrasikannya dengan menarik sebuah kapal sendirian saja. Ulir penak, yaitu rancangan model planetarium yang dapat menunjukkan gerak matahari, bulan, planet-planet, dan kemungkinan konstelasi di langit.

Di bidang matematika, penemuannya terhadap nilai pi lebih mendekati dari ilmuan sebelumnya, yaitu 223/71 dan 220/70.

Archimedes adalah orang yang mendasarkan penemuannya dengan eksperimen sehingga ia dijuluki Bapak IPA Eksperimental.

Rabu, 26 Mei 2010

Soal | Usaha dan Energi

1. Satuan energi dalam SI adalah . . . .
a. dyne
b. joule
c. newton
d. watt

2. Jika kita menyalakan kipas angin maka terjadi perubahan energi dari . . . .
a. energi listrik menjadi energi panas
b. energi listrik menjadi energi kimia
c. energi listrik menjadi energi gerak
d. energi panas menjadi energi listrik

3. Energi yang tersimpan dalam makanan adalah energi . . . .
a. kimia
b. gerak
c. cahaya
d. bunyi

4. Mobil balap A bergerak lebih lambat daripada mobil balap B. Jika mA = mB maka energi kinetik mobil balap A . . . .
a. lebih kecil daripada energi kinetik mobil balap B
b. lebih besar daripada energi kinetik mobil balap B
c. sama dengan energi kinetik mobil balap B
d. berubah-ubah

5. Benda A dan B bermassa sama. Jika benda A berada pada tempat yang lebih tinggi dari B maka . . . .
a. Ep A = Ep B
b. Ep A lebih besar dari Ep B 
c. Ep A lebih kecil dari Ep B
d. Ep A = 0

6. Sebuah mobil bermassa 1 ton bergerak dengan kecepatan 20 m/s. Energi kinetic mobil adalah . . . .
a. 2.000.000 J
b. 200.000 J
c. 20.000 J
d. 2.000 J

7. Sebuah bola berada pada ketinggian 2 m. Jika massa bola 0,25 kg dan percepatan gravitasi di tempat itu 10 m/s^2, besar energi potensial bola adalah . . . .
a. 2 J
b. 3 J
c. 4 J
d. 5 J

8. Seorang anak mendorong tembok, usaha yang dilakukan anak tersebut adalah . . . .
a. tetap
b. berubah-ubah
c. 0
d. 0,5 J

9. Untuk mencari besarnya usaha dapat dicari dengan persamaan . . . .
a. W = F – s
b. W = F + s
c. W = F . s
d. W = F . 2s

10. Andi melakukan usaha untuk mengangkat karung beras sebesar 250 J dalam waktu 125 sekon. Besar daya Andi adalah . . . .
a. 1 watt
b. 1,5 watt
c. 2 watt
d. 2,5 watt

Selasa, 25 Mei 2010

FISIKA TANPA RUMUS

Idealnya, pengajaran harus dimulai dari memahami konsep lalu membangun logika. Setelah itu, siswa kemungkinan besar bisa menyusun/menemukan rumus sendiri. Bila rumus dapat ditemukan sendiri, maka siswa tidak perlu menghafal rumus. Inilah mengapa metode ini disebut “tanpa rumus.” Prof. Yohanes Surya memberi sebuah contoh sederhana soal Fisika. Misalnya: Dua sepeda bergerak berhadapan. Sepeda pertama bergerak dengan kecepatan 4 meter/detik, sepeda kedua bergerak dengan kecepatan 6 meter/detik. Bila jarak mereka (mula-mula) adalah 30 meter, kapan kedua sepeda itu bertemu (berpapasan)?

- Sepeda pertama bergerak dengan kecepatan 4 meter/detik, artinya dalam 1 detik sepeda tersebut menempuh 4 meter.
- Sepeda kedua bergerak dengan kecepatan 6 meter/detik, artinya dalam 1 detik sepeda tersebut menempuh 6 meter.
- Dalam 1 detik, kedua sepeda menempuh jarak 10 meter. Karena jarak awal kedua sepeda tadi adalah 30 meter, maka kedua sepeda akan berpapasan pada detik ke-3, seperti terlihat pada gambar diatas.

Mudah, bukan?

Oleh karena itu, sebaiknya siswa membicarakan kesulitan ini dengan guru yang bersangkutan. Mintalah agar Bapak/Ibu guru memberikan konsep dengan gamblang tatkala mengajarkan sebuah materi Matematika atau Fisika. Kalian (murid) harus dibiasakan untuk bisa menemukan rumus sendiri, sehingga tidak perlu tergantung pada hafalan rumus, apalagi penggunaan rumus yang salah tempat.

Kendala lainnya adalah penggunaan lambang rumus yang berasal dari Bahasa Inggris. Bagi siswa Indonesia yang tidak paham Bahasa Inggris, lambang-lambang tersebut menjadi sulit untuk dicerna maknanya.
Misal:
h untuk tinggi, berasal dari kata high
v untuk kecepatan, berasal dari kata velocity
a untuk percepatan, berasal dari kata accelaration
Bandingkan dengan mengingat g untuk gaya gravitasi, lebih mudah, bukan? (g berasal dari kata gravity, kebetulan memiliki awalan huruf yang sama). Salah satu strategi untuk mengingatnya adalah dengan meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris, terutama yang menyangkut istilah-istilah Matematika dan Fisika.

PEMBELAJARAN MIPA dan MASALAHNYA

Oleh: Prof. Yohanes Surya

“Wemi 17 + 5 berapa?” pertanyaan ini saya ajukan pada seorang siswa kelas V di suatu Sekolah dasar di Kabupaten Tolikara Papua. Wemi menggambar 17 garis-garis kecil dan 5 garis-garis kecil. Kemudian ia menghitung banyaknya garis itu satu persatu hingga ia dapatkan hasil 22. Wemi termasuk salah satu anak yang cukup baik, anak yang lain bahkan tidak bisa menghitung penjumlahan sama sekali, apalagi perkalian dan pembagian.

Di daerah lain di Papua, saya menginterview kali ini anak-anak SMA. Saya bertanya pada anak-anak tersebut “berapa 1/2 + 1/3=”. Tidak ada satupun yang menjawab 5/6, sebagian besar menjawab 2/5 bahkan ada yang menjawab 1/5. Saya sempat bertanya pada kepala sekolah kenapa anak-anak ini bisa jadi seperti ini? Kepala sekolah menjawab :”kualitas guru disini sangat rendah dan muridnya memang tidak berbakat matematika”. “Lalu apa kriteria anak ini naik kelas?” tanya saya lebih lanjut. “Tidak ada! Semua anak dinaikan kelas” kepala sekolah menjawab dengan jujur. “Kalau tidak naik kelas, orang tua akan datang bawa parang dan tombak”, lanjutnya. Orangtua disana merindukan anak-anaknya pintar, itu sebabnya mereka menyuruh anaknya bersekolah. Jika anak mereka tidak lulus, mereka anggap sekolah tidak mengajar dengan baik. Wajar saja kalau mereka menuntut kenaikan kelas dengan parang dan tombak.

Pembelajaran Matematika dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan masalah yang besar tidak hanya di daerah-daerah tetapi juga di kota-kota besar. Banyak lembaga pendidikan mengatakan bahwa anak-anak sulit belajar matematika atau IPA karena memang mereka tidak berbakat. Menurut mereka sebaiknya anak-anak yang tidak berbakat IPA dan matematika ini diarahkan pada ilmu-ilmu sosial saja.

Namun yang kami temukan dilapangan ternyata berbeda. Selama tahun 2008/2009 saya dengan tim dari Surya Institute berkeliling ke kota-kota dan kabupaten di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Kami melatih ratusan bahkan ribuan guru IPA dan Matematika. Selama pelatihan ini kami menemukan bahwa faktor utama siswa sulit belajar matematika dan IPA ini adalah metode pembelajaran yang tepat dan kualitas guru, bukan keadaan/potensi siswa.

Potensi siswa Indonesia

Secara rata-rata kemampuan siswa Indonesia dalam belajar matematika atau IPA (fisika) sangat baik. Anak-anak Indonesia tidak bodoh. Kalau mereka mendapat kesempatan, mereka akan berprestasi luar biasa.

Sekitar pertengahan tahun 2009 kami membawa 5 anak dari kabupaten Tolikara dan 5 anak dari Wamena ke Surya Institute di Tangerang. Tolikara dan Wamena adalah daerah pegunungan di Papua yang selama ini dianggap sangat terbelakang. Dari Wamena kami ambil 1 siswa dari desa Kurulu dimana seluruh penduduknya masih mengenakan koteka dan perempuannya masih telanjang dada.

Di Surya Institute para siswa ini dilatih matematika GASING (Gampang Asyik dan Menyenangkan) 4 jam per hari. Selama pelatihan kami melihat bahwa sesungguhnya siswa-siswa ini sangat cerdas matematika, berlawanan dengan anggapan selama ini yang menganggap mereka ini bodoh. Siswa ini juga punya keinginan kuat untuk maju, mereka ingin sepintar anak-anak lain dari pulau Jawa. Mereka juga sangat rajin belajar. Hasilnya? Hanya dalam waktu 6 bulan mereka sudah mampu menghitung dengan sangat baik. Segala bentuk soal pecahan dapat dikerjakan dengan baik. Semua soal cerita dari buku Matematika kelas 1 hingga kelas 6 SD dapat diselesaikan dengan sangat baik. Ternyata siswa yang selama ini dianggap “bodoh” itu dapat menjadi hebat sekali hanya dalam waktu 6 bulan asalkan mereka mendapat guru yang berkualitas dan metode pembelajaran yang tepat.

Saya masih ingat, tahun 2004 saya bawa Andrey Awoitauw siswa SMP kelas 1 dari Jayapura. Ketika dibawa ke Surya Institute ia tidak bisa menghitung pecahan. Ia hanya bisa menghitung kali, jumlah dan kurang. Tapi ketika dilatih dengan metode yang tepat dan guru yang berkualitas, Andrey mampu meraih medali emas dalam bidang Matematika SMP Olimpiade IPA Nasional 2005 di Jakarta. Bahkan nilainya melebihi nilai yang diperoleh seorang siswa yang pernah juara menjadi juara dunia matematika.

Hasil Andrey mengingatkan saya sekitar 15 tahun lalu waktu saya pulang dari Amerika Serikat, teman saya bertanya kenapa mau pulang ke Indonesia, bukankah sudah enak kerja di Pusat fisika nuklir Amerika Serikat. Ketika saya jawab bahwa saya pulang karena ingin menjadikan Indonesia juara dunia dalam olimpiade fisika, teman saya ini tertawa. Ia bilang Indonesia tidak akan bisa jadi juara, anaknya bodoh-bodoh dan malas-malas. Ternyata 5 tahun kemudian, setelah saya menemukan metode yang tepat, anak-anak Indonesia mulai bermunculan menjadi juara dalam berbagai lomba tingkat dunia.

Dimulai tahun 1999 Made Agus Wirawan dari Bali merebut medali emas Olimpiade Fisika Internasional di Italia. Kemudian tahun 2005 Anike Bowaire dari Papua dan Dhina Susanti dari Semarang berhasil meraih medali emas The First Step to Nobel Prize in Physics sekaligus menjadikan Indonesia juara dunia dalam lomba tersebut. Di Tahun 2006 Jonathan Mailoa meraih peringkat 1 dari 386 peserta sekaligus membawa Indonesia menjadi juara pertama diantara 85 negara peserta Olimpiade Fisika Internasional di Singapore. Di tahun 2009 Indonesia menjadi juara dunia dalam lomba karya ilmiah International Conference for Young Scientists di Polandia dengan merebut 6 medali emas. Tahun 2009 juga Indonesia juara dunia dalam lomba Global Enterprise Challenge suatu lomba yang menggabungkan kemampuan entrepreneurship dan IPA. Di tingkat SMP kita beberapa kali juara dunia dalam International Junior Science Olympiad. Sampai tahun 2009 sudah lebih dari 69 medali emas dipersembahkan siswa-siswa Indonesia dalam kejuaraan-kejuaraan ini.

Hasil berbagai olimpiade ini semakin meyakinkan saya bahwa kalau kita bisa menemukan metode yang tepat dan guru yang hebat, anak-anak kita akan menjadi luar biasa.

Kualitas guru

Selama melatih ribuan guru-guru IPA dan matematika di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia, kami menemukan perbedaan yang cukup mencolok dari segi kualitas antara guru-guru di kota besar dan daerah-daerah terutama daerah tertinggal.

Guru di kota besar terutama dari sekolah-sekolah terbaik, sudah cukup baik kualitasnya. Mereka punya kesempatan dan fasilitas yang baik untuk mengembangkan diri. Sebagian dari mereka sudah menggunakan komputer dalam proses pembelajarannya, bahkan ada yang mampu membuat perangkat-perangkat lunak pembelajaran. Mereka hanya kesulitan ketika harus melatih siswa ke tingkat olimpiade. Soal-soal olimpiade seperti olimpiade fisika, matematika, kimia masih dirasakan terlalu berat untuk mereka. Mereka butuh pelatihan khusus untuk olimpiade ini.



Untuk guru-guru di daerah, keinginan majunya sangat kuat. Mereka sadar bahwa mereka kurang, mereka ingin memperbaiki diri. Seorang peserta dari Aceh yang kami latih selama 1 bulan di Jakarta mengatakan: “Selama 20 tahun saya mengajar, belum pernah kami mendapatkan pelatihan seperti ini. Disini walaupun kami belajar dari pagi hingga malam hari, kami sangat menikmati, kami baru sadar bahwa ternyata kami ini sangat kurang… Waktu 1 bulan ini kami anggap kurang. Kami ingin belajar lagi. Kami ingin nanti siswa-siswa Aceh jadi siswa yang pintar-pintar”.

Seorang guru dari desa di Pulau Jawa menangis “waduuuh selama ini ternyata saya mengajar salah, 15 tahun saya mengajar salah… o Gusti ampuni saya…” Guru ini mengaku ia telah mengajar konsep yang salah (miskonsepsi) tentang IPA. Ia tidak tahu bahwa yang ia ajarkan itu salah. Ia menganggap bahwa bumi bisa berputar terus karena dapat energi dari sinar matahari. Ia menganggap bahwa benda terapung karena gaya ke atas lebih besar dari gaya berat. Dan masih banyak lainnya.

Guru dari suatu daerah di Papua mengaku ia selama ini sangat bersalah, telah mengajar salah. Guru ini menghitung 23 + 3 hasilnya 56. Menurut guru ini konsep penjumlahan sama seperti perkalian. Jadi ia harus menambahkan puluhan dan satuan masing-masing dengan 3. Ia menjumlahkan 2 + 3 = 5 dan 3 + 3 = 6. Jadi hasilnya 56!. Dalam pecahanpun mereka keliru menghitung ½ + 1/3. Menurut mereka untuk menghitung penjumlahan ini pembilang dijumlah dan penyebut dijumlah jadi hasilnya 2/5.

Guru dari daerah lain mengaku bahwa selama ini ia mengajar sangat monoton. Ia telah membuat pelajaran IPA yang begitu asyik dan menyenangkan menjadi mata pelajaran yang membosankan siswa. Guru ini mengaku bahwa selama ini ia tidak mendapatkan metode yang tepat. Akhirnya yang terjadi adalah siswa bosan dan mengganggap IPA atau fisika itu sulit.

Masih banyak kisah-kisah guru yang mengaku bahwa mereka selama ini belum mengajar secara GASING (Gampang, Asyik dan menyenangkan). Mereka bingung karena selama ini belum banyak dapat pelatihan yang baik.

Berdasarkan berbagai komentar dari para guru dan pemantauan di lapangan, kami menyimpulkan bahwa keadaan guru-guru IPA dan Matematika di daerah pinggiran atau daerah tertinggal adalah : 1. Mereka sadar kekurangan mereka; 2. Mereka punya kemampuan untuk berkembang asal diberikan kesempatan; 3) Mereka punya keinginan kuat untuk berubah menjadi lebih baik; 4) mereka punya jiwa pendidik yang ingin membuat anak didiknya berhasil; 5) Mereka memerlukan tambahan sarana berupa alat demonstrasi IPA dan matematika + pelatihan menggunakan alat ini untuk membuat pelajaran menjadi lebih menarik; 6). Secara ekonomi mereka perlu perbaikan agar lebih konsentrasi dalam mendidik anak.

Jadi sebenarnya guru-guru yang ada di Indonesia adalah guru yang baik, mereka punya hati, mereka punya keinginan maju tetapi mereka butuh bantuan, dukungan dan kesempatan untuk berkembang menjadi lebih baik.

What’s next?

Untuk memperbaiki kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, seluruh stakeholder pendidikan termasuk pemerintah dan masyarakat perlu saling bahu membahu dalam meningkatkan kualitas guru. Yang dimaksud kualitas disini termasuk kemampuan menguasai konten (guru IPA harus mengerti konsep-konsep IPA secara benar dan guru matematika mengerti dan mampu mengerjakan soal-soal matematika dengan benar) dan juga metode pembelajaran yang GASING (Gampang, Asyik menyenangkan). Lewat guru yang berkualitas inilah kita bisa mengubah wajah matematika dan IPA yang selama ini dianggap momok yang menakutkan menjadi sesuatu yang menyenangkan.

Untuk guru-guru dikota besar, diperlukan sekali pelatihan intensif sampai level olimpiade sehingga siswa-siswa terbaik kita dapat kesempatan terus untuk meningkatkan kemampuannya sampai ke level olimpiade.

Untuk guru-guru di daerah terutama di daerah terpencil, perlu ada pelatihan khusus yang cukup lama (tidak hanya pelatihan sporadis yang hanya 1-2 harisaja). Pelatihan 6 bulan – 1 tahun ini akan membantu guru-guru ini untuk meng-update konten yang dimiliki dan juga memperbaiki metode pembelajaran. Kita berharap kedepannya kemampuan guru-guru di daerah ini akan mampu menyamai kemampuan guru-guru di kota-kota besar.

Memang untuk pelatihan yang lama ini butuh dana yang cukup besar, tetapi dengan dana 20 % yang dicanangkan pemerintah untuk pendidikan, hal ini tidaklah sulit untuk dilaksanakan. Saya percaya jika semua stakeholder pendidikan bekerja bahu membahu meningkatkan kualitas pembelajaran matematika dan IPA di Indonesia, maka kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat secara luar biasa.

(Prof. Yohanes Surya adalah Pendiri Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya suatu sekolah untuk mendidik calon guru untuk menjadi guru berkualitas. www.yohanessurya.com)