Oleh: Agus Purwanto*)
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
manusia, penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda …”(QS 2:185).
Al-Qur’an bersama sunnah rasul saw merupakan dua pegangan utama ummat Islam dalam mengarungi hidup di masa dan pasca kehidupan rasul saw. Mengingat fungsinya yang demikian maka banyak karya tulis dibuat dalam rangka mempertahankan spirit dan inti pesan agar tidak keluar konteks tetapi tetap sesuai dengan situasi ruang-waktu.
Berdasarkan kenyataan itu pula, kita perlu menguji pemahaman kita selama ini atas pesan-pesan keduanya. Kini, kita hidup di era cyber, era TI, di era teknologi skala nano (sepermilyar meter). Bahkan mungkin juga era angkasa luar setelah negeri dengan penduduk terpadat di dunia yang konon tidak terlalu kaya berhasil meneguhkan dirinya menjadi negara ketiga yang berhasil meluncurkan manusia ke ruang angkasa. Negeri itu adalah Cina yang kita kenal dengan pesan “utlubil ilma walau bissin”(bukan hadits). Cina mampu meluncurkan pesawat ruang angkasa Shenzhou 5 berawak satu yakni Yang Liwei yang berusia 38 tahun. Singkatnya, era ilmu pengetahuan yang bertumpu pada keruntutan berfikir yang secara teologis lebih condong pada teologi Mu’tazilah yang selama ini justru kita jauhi.
Bagaimana pesan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan? Apa makna petunjuk dan
pembeda dalam konteks bangunan ilmu pengetahuan?
Syekh Jauhari Thonthowi guru besar universitas Kairo penulis kitab tafsir al-Jawahir membuka tafsirnya dengan mengungkap fakta sekaligus menggugat ulama islam. Di dalam al-Qur’an hanya terdapat sekitar 150 ayat hukum sementara ayat kauniyah lima kali lipatnya, yakni sekitar 750 ayat. Ulama islam telah mengerahkan sebagian besar waktu dan tenaganya untuk menulis ribuan kitab fikih tetapi nyaris tidak satu pun buku tentang alam ditulis.
Jelas, selama ini kita terlalu berorientasi pada fiqih meskipun dalam praktek kesehariannya amalan fiqih kita sangat amburadul. Kita perlu menyeimbangkan orientasi dalam memahami dan menangkap pesan kitab suci dan sunnah rasul saw. Syair-syair semisal al-fiqhu anfusu syaiin, fiqih adalah segalaanya atau fiqih adalah ilmu yang paling berharga; idza maa’ tazza dzu ilmin bi ilmin fa ilmul fiqhi aula bi’ tizaazin, bila orang berilmu mulia lantaran ilmunya maka ilmu fiqih membuatnya lebih mulia, perlu didekontruksi maknanya. Kita kini berada di dalam kurun interdepedensi, saling kebergantungan satu dengan yang lain tanpa harus merasa yang satu lebih dari yang lain, tak terkecuali ilmu fiqih.
Kembali ke pertanyaan bagaimana pesan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan??
Jelas, selama ini kita terlalu berorientasi pada fiqih meskipun dalam praktek kesehariannya amalan fiqih kita sangat amburadul. Kita perlu menyeimbangkan orientasi dalam memahami dan menangkap pesan kitab suci dan sunnah rasul saw. Syair-syair semisal al-fiqhu anfusu syaiin, fiqih adalah segalaanya atau fiqih adalah ilmu yang paling berharga; idza maa’ tazza dzu ilmin bi ilmin fa ilmul fiqhi aula bi’ tizaazin, bila orang berilmu mulia lantaran ilmunya maka ilmu fiqih membuatnya lebih mulia, perlu didekontruksi maknanya. Kita kini berada di dalam kurun interdepedensi, saling kebergantungan satu dengan yang lain tanpa harus merasa yang satu lebih dari yang lain, tak terkecuali ilmu fiqih.
Kembali ke pertanyaan bagaimana pesan al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan??
Jawabnya sangat jelas, Allah akan meninggikan derajat orang beriman di antara kalian dan berilmu (QS 58:11). Ringkasnya, kata kunci bagi kebangkitan islam yang didengung-dengungkan sejak memasuki abad 15 hijriyah adalah iman dan ilmu. Tentu, yang dimaksud ilmu di sini termasuk juga ilmu material seperti matematika, fisika, kimia, biologi, komputer dan berbagai terapannya. Tanpa ilmu material ini kekuatan kita tidaklah maksimal dan tidak akan mampu menembus bumi seperti yang dilakukan Jepang dalam membangun laboratorium SuperKamiokande, pendeteksi neutrino, di kedalaman satu kilometer di bawah permukaan bumi. Kita juga tak bakal mampu menembus langit seperti yang dilakukan oleh para astronot Rusia, Amerika dan Cina meskipun kita telah hafal di luar kepala teks al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 33. Kekuatan kita tidak maksimal sebab sulit disangkal bahwa knowledge is power.
Kunci berikutnya sebagai pedoman praktisnya adalah tradisi membaca dan berfikir kritis sebagaimana surat yang pertama turun yaitu iqra’ bismirabbika alladi khalaq, khalaqal insana min ‘alaq. Kita harus membangun tradisi membaca ayat-ayat tertulis maupun ayat-ayat yang terhampar di jagad raya. Karena bangunan ilmu khususnya ilmu modern sudah didirikan sejak enam abad lalu, kita tak perlu lagi membangun ilmu dari nol dengan mengamati perilaku alam satu demi satu. Adalah cukup dengan menyimak secara seksama apa yang telah dilakukan oleh Copernicus, Kepler, Newton, Laplace, Gauss, Maxwell, Planck, Schrodinger, Feynman, Einstein, Hawking dan banyak lagi lainnya via artikel atau uraiannya dalam berbagai buku teks. Buku-buku yang memuat ilmu-ilmu yang telah dikembangkan para ilmuwan tersebut telah memenuhi perpustakaann besar di seluruh dunia. Ilmunya telah menjadi milik semua orang tanpa kecuali. Persoalannya, kita ingin memiliki dan menguasainya atau tidak. Atau sebaliknya, kita justru ingin dikuasainya?
Setelah menguasai dan mengenali pondasi bangunan ilmu tersebut, kita mungkin melihat adanya bagian-bagian yang perlu ditata ulang dan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasinya. Sebagai contoh, dalam tataran epistemologi, ilmu modern telah menolak memasukkan wahyu sebagai sumber ilmu. Di sinilah kita dapat menyodorkan wahyu sebagai salah satu sumber perolehan ilmu.
Ada contoh yang sangat menarik di dalam kitab suci berkaitan dengan ide wahyu sebagai sumber irformasi ilmu di atas.
Kunci berikutnya sebagai pedoman praktisnya adalah tradisi membaca dan berfikir kritis sebagaimana surat yang pertama turun yaitu iqra’ bismirabbika alladi khalaq, khalaqal insana min ‘alaq. Kita harus membangun tradisi membaca ayat-ayat tertulis maupun ayat-ayat yang terhampar di jagad raya. Karena bangunan ilmu khususnya ilmu modern sudah didirikan sejak enam abad lalu, kita tak perlu lagi membangun ilmu dari nol dengan mengamati perilaku alam satu demi satu. Adalah cukup dengan menyimak secara seksama apa yang telah dilakukan oleh Copernicus, Kepler, Newton, Laplace, Gauss, Maxwell, Planck, Schrodinger, Feynman, Einstein, Hawking dan banyak lagi lainnya via artikel atau uraiannya dalam berbagai buku teks. Buku-buku yang memuat ilmu-ilmu yang telah dikembangkan para ilmuwan tersebut telah memenuhi perpustakaann besar di seluruh dunia. Ilmunya telah menjadi milik semua orang tanpa kecuali. Persoalannya, kita ingin memiliki dan menguasainya atau tidak. Atau sebaliknya, kita justru ingin dikuasainya?
Setelah menguasai dan mengenali pondasi bangunan ilmu tersebut, kita mungkin melihat adanya bagian-bagian yang perlu ditata ulang dan menjadikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasinya. Sebagai contoh, dalam tataran epistemologi, ilmu modern telah menolak memasukkan wahyu sebagai sumber ilmu. Di sinilah kita dapat menyodorkan wahyu sebagai salah satu sumber perolehan ilmu.
Ada contoh yang sangat menarik di dalam kitab suci berkaitan dengan ide wahyu sebagai sumber irformasi ilmu di atas.
Ada dua hewan kecil yang diabadikan menjadi nama surat sekaligus kandungan ayatnya di dalam al-Qur’an. Hewan tersebut adalah lebah dan semut . Lebah atau an-Nahl menjadi nama surat ke-16 sedangkan semut (an-Naml) surat ke-27. keduanya dapat dijadikan starting point dalam riset biologi khususnya zoologi. Keistimewaan lebah cukup jelas diuraikan di dalam surat an-Nahl ayat 68-69. Pertama, Allah memberi wahyu kepada lebah agar membangun rumah-rumah mereka di gunung- gunung dan pepohonan dan makan buah-buahan. Kedua, Allah menginformasikan bahwa dari perut lebah keluar cairan yang dapat diminum dan berfungsi sebagai obat. Dari ayat- ayat ini rahasia kelebihan dan keutamaan lebah relatif jelas dan mudah difahami.
Tetapi Allah menggunakan pendekatan lain ketika memaparkan keistimewaan semut. Allah tidak menggunakan pendekatan apa adanya seperti kasus lebah melainkan menggunakan pendekatan keindahan atau kekuatan bahasa Arab. Di dalam kasus lebah, an-nahl menjadi nama surat sekaligus kata yang digunakan di ayat 68. Pengualangan kata ini juga terjadi tetapi dalam pola yang berbeda dalam kasus semut. An-naml menjadi nama surat dan bagian dari frasa di dalam ayat 18 yakni waadin namli, lembah semut. Tetapi lanjutan ayat ini menggunakan istilah yang berbeda untuk semut yakni an-namlatu bukan an-namlu. Kata an-namlatu berasal dari an-namlu dan mendapat tambahan huruf ta’ marbutoh (ta’ bulat). Lanjutan ayat ini kembali menggunakan an-namlu sehingga bila kita bariskan dari nama surat kemudian tiga kata semut di ayat 18 ini adalah an-namlu, an-namlu, an-namlatu, an-namlu. Sedangkan untuk lebah, an-nahlu dan an-nahlu bukan an-nahlu dan an-nahlatu. Apa artinya ini?
Ayat lain menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan (QS 44:38-39) dan ukuran tertentu (QS 25:2). Dengan demikian pemilihan kata an-namlu, an- namlu, an-namlatu, an-namlu juga mempunyai tujuan. Tetapi tujuan apa? Kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa ta’ marbutoh adalah tanda isim muannats, kata benda feminin atau kata benda berjenis perempuan. Penerapan kaidah ini menghasilkan terjemahan “…telah berkata seekor semut betina …” yang belum pernah penulis temukan dalam al- Qur’an terjemahan bahasa Indonesia. Semua hanya menerjemahkan dengan “…telah berkata seekor semut …” tanpa tambahan kata betina.
Penerjemahan semut betina bagi an-namlatu memberi implikasi lebih lanjut yaitu bila kita perhatikan kalimat lanjutannya yang berupa kalimat perintah (fi’il amr). Singkatnya sang semut betina dalam keadaan sedang memberi instruksi kepada semut (jantan) yang berjumlah banyak. Bila kasus ini kita personifikasi sejenak maka dapat dengan mudah disimpulkan bahwa sang semut betina yang memberi instruksi tidak lain adalah pimpinan komunitas semut. Artinya, menurut kaidah bahasa dan personifikasi, pimpinan semut adalah ratu, ratu semut. Karena kesimpulan ini berasal dari interpretasi bukan informasi langsung yakni kata al-malikatu (ratu) dalam ayat maka sementara kita ambil sebagai hipotesis yang harus dibuktikan oleh penelitian lapangan.
Riset yang dilakukan oleh para biolog (Barat) memang membuktikan bahwa pimpinan semut adalah ratu semut. Artinya, interpretasi linguistik dan personifikasi di atas absah dan terbukti benar. Tetapi yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan di sini adalah bagaimana ayat kitab suci diolah dan dijadikan hipotesis suatu riset ilmiah yang pada akhirnya melahirkan sebuah teori yang indah dan komprehensif.
Pertanyaan kritis lebih lanjut, semisal mengapa dipilih semut bukan nyamuk, kecoak, cacing, orong-orong atau hewan kecil lainnya dapat diajukan. Jawabnya juga sudah dikuak oleh para ilmuwan. Majalah Reader Diggest yang terbit di akhir dasawarsa 70-an pernah menguraikan panjang lebar keistimewaan semut dibanding hewan lainnya. Pertama, komunitas semut mempunyai sistem atau struktur kemasyarakatan lengkap dengan pembagian tugasnya. Kedua, masyarakat semut mengenal sistem peperangan kolektif. Artinya kelompok semut tertentu yang dipimpin seekor ratu semut dapat berperang dengan komunitas semut yang dipimpin oleh ratu lainnya. Hewan lain umumnya bertarung individu-individu. Ketiga, semut mengenal sistem perbudakan. Telur sebagai harta benda utama dari pihak semut yang kalah perang akan dikuasai dan diangkut oleh pihak semut pemenang. Telur-telur ini akan dijaga sampai menetas dan bayi semut ini akan dijadikan budak-budak mereka yang menang. Keempat, semut mengenal sistem peternakan. Pada daun pohon jambu, mangga, rambutan atau lainnya kadang terdapat jamur putih lembut. Di sana ada hewan kecil berwarna putih yang menghasilkan cairan manis. Semut tahu hewan ini malas berpindah karena itu semut membantu memindahkannya ke tempat baru bila lahan di sekitar itu telah mulai tandus dan setelah semut memerah cairannya setiap perioda waktu tertentu. Sampai saat ini belum diketahui hewan lain yang mengenal sistem perbudakan dan peternakan. Kelima, semut mengenal sistem navigasi yang baik.
Itulah salah satu contoh bagaimana ayat al-Qur’an dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan dalam contoh ini biologi. Banyak ayat lainnya yang dapat dijadikan sumber informasi ilmu seperti fisika, kimia dan lainnya selain fiqih yang telah ditulis dalam ribuan buku. Persoalannya kini adalah perubahan orientasi seperti yang disinggung di depan, dari yang sekedar fiqih ke oriantasi ayat kauniyah yang melahirkan sains eksakta yang terbukti mampu menguasai dan mengendalikan peradaban dunia.
*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam)-ITS, mantan Vice-President of Saijo-Hiroshima Moslem Association.
Tetapi Allah menggunakan pendekatan lain ketika memaparkan keistimewaan semut. Allah tidak menggunakan pendekatan apa adanya seperti kasus lebah melainkan menggunakan pendekatan keindahan atau kekuatan bahasa Arab. Di dalam kasus lebah, an-nahl menjadi nama surat sekaligus kata yang digunakan di ayat 68. Pengualangan kata ini juga terjadi tetapi dalam pola yang berbeda dalam kasus semut. An-naml menjadi nama surat dan bagian dari frasa di dalam ayat 18 yakni waadin namli, lembah semut. Tetapi lanjutan ayat ini menggunakan istilah yang berbeda untuk semut yakni an-namlatu bukan an-namlu. Kata an-namlatu berasal dari an-namlu dan mendapat tambahan huruf ta’ marbutoh (ta’ bulat). Lanjutan ayat ini kembali menggunakan an-namlu sehingga bila kita bariskan dari nama surat kemudian tiga kata semut di ayat 18 ini adalah an-namlu, an-namlu, an-namlatu, an-namlu. Sedangkan untuk lebah, an-nahlu dan an-nahlu bukan an-nahlu dan an-nahlatu. Apa artinya ini?
Ayat lain menyatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dengan tujuan (QS 44:38-39) dan ukuran tertentu (QS 25:2). Dengan demikian pemilihan kata an-namlu, an- namlu, an-namlatu, an-namlu juga mempunyai tujuan. Tetapi tujuan apa? Kaidah bahasa Arab mengatakan bahwa ta’ marbutoh adalah tanda isim muannats, kata benda feminin atau kata benda berjenis perempuan. Penerapan kaidah ini menghasilkan terjemahan “…telah berkata seekor semut betina …” yang belum pernah penulis temukan dalam al- Qur’an terjemahan bahasa Indonesia. Semua hanya menerjemahkan dengan “…telah berkata seekor semut …” tanpa tambahan kata betina.
Penerjemahan semut betina bagi an-namlatu memberi implikasi lebih lanjut yaitu bila kita perhatikan kalimat lanjutannya yang berupa kalimat perintah (fi’il amr). Singkatnya sang semut betina dalam keadaan sedang memberi instruksi kepada semut (jantan) yang berjumlah banyak. Bila kasus ini kita personifikasi sejenak maka dapat dengan mudah disimpulkan bahwa sang semut betina yang memberi instruksi tidak lain adalah pimpinan komunitas semut. Artinya, menurut kaidah bahasa dan personifikasi, pimpinan semut adalah ratu, ratu semut. Karena kesimpulan ini berasal dari interpretasi bukan informasi langsung yakni kata al-malikatu (ratu) dalam ayat maka sementara kita ambil sebagai hipotesis yang harus dibuktikan oleh penelitian lapangan.
Riset yang dilakukan oleh para biolog (Barat) memang membuktikan bahwa pimpinan semut adalah ratu semut. Artinya, interpretasi linguistik dan personifikasi di atas absah dan terbukti benar. Tetapi yang menjadi perhatian utama dalam pembahasan di sini adalah bagaimana ayat kitab suci diolah dan dijadikan hipotesis suatu riset ilmiah yang pada akhirnya melahirkan sebuah teori yang indah dan komprehensif.
Pertanyaan kritis lebih lanjut, semisal mengapa dipilih semut bukan nyamuk, kecoak, cacing, orong-orong atau hewan kecil lainnya dapat diajukan. Jawabnya juga sudah dikuak oleh para ilmuwan. Majalah Reader Diggest yang terbit di akhir dasawarsa 70-an pernah menguraikan panjang lebar keistimewaan semut dibanding hewan lainnya. Pertama, komunitas semut mempunyai sistem atau struktur kemasyarakatan lengkap dengan pembagian tugasnya. Kedua, masyarakat semut mengenal sistem peperangan kolektif. Artinya kelompok semut tertentu yang dipimpin seekor ratu semut dapat berperang dengan komunitas semut yang dipimpin oleh ratu lainnya. Hewan lain umumnya bertarung individu-individu. Ketiga, semut mengenal sistem perbudakan. Telur sebagai harta benda utama dari pihak semut yang kalah perang akan dikuasai dan diangkut oleh pihak semut pemenang. Telur-telur ini akan dijaga sampai menetas dan bayi semut ini akan dijadikan budak-budak mereka yang menang. Keempat, semut mengenal sistem peternakan. Pada daun pohon jambu, mangga, rambutan atau lainnya kadang terdapat jamur putih lembut. Di sana ada hewan kecil berwarna putih yang menghasilkan cairan manis. Semut tahu hewan ini malas berpindah karena itu semut membantu memindahkannya ke tempat baru bila lahan di sekitar itu telah mulai tandus dan setelah semut memerah cairannya setiap perioda waktu tertentu. Sampai saat ini belum diketahui hewan lain yang mengenal sistem perbudakan dan peternakan. Kelima, semut mengenal sistem navigasi yang baik.
Itulah salah satu contoh bagaimana ayat al-Qur’an dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan dalam contoh ini biologi. Banyak ayat lainnya yang dapat dijadikan sumber informasi ilmu seperti fisika, kimia dan lainnya selain fiqih yang telah ditulis dalam ribuan buku. Persoalannya kini adalah perubahan orientasi seperti yang disinggung di depan, dari yang sekedar fiqih ke oriantasi ayat kauniyah yang melahirkan sains eksakta yang terbukti mampu menguasai dan mengendalikan peradaban dunia.
*) Pekerja LaFTiFA (Lab Fisika Teori dan Filsafat Alam)-ITS, mantan Vice-President of Saijo-Hiroshima Moslem Association.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar