
"Ini berarti fisika adalah ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar fakta, memerlukan verifikasi, dan memiliki keterbatasan validitas," katanya.
Pengajaran fisika di sekolah-sekolah menengah Indonesia, menurut pengamatan Tjia, ditekankan kepada proses deduktif dari model teo kepada ramalan-ramalan teoretik. Anak diajarkan terlatih menurunkan rumus, sebaliknya tidak diberi ruang untuk melatih melakukan generalisasi, abstraksi, atau idealisasi dari fakta atau fenomena alam untuk merumuskan suatu model teori. "Padahal, dalam melakukan generalisasi inilah tumbuh kreativitas anak dalam melihat fenomena alam," katanya.
Tjia menyarankan para guru yang mengikuti konferensi ini mulai memperkenalkan proses induktif dalam pengajaran fisika kepada murid. Yang mula-mula terjadi pada murid dengan proses ini, menurut Tjia, adalah mereka berpendapat ngawur. Namun, lama-kelamaan akan tumbuh semacam feeling fisika pada murid bila mereka terlatih melihat fenomena alam, kemudian menyisir fakta-fakta fisika yang ia peroleh, untuk merumuskannya ke dalam suatu model teori.
"Di sini para guru harus mengikis kebiasaannya menyalahkan murid kalau ngomong salah, sebaliknya justru membina murid bagaimana menguliti fakta-fakta yang kompleks hingga menemukan intinya dalam konsep atau model yang sederhana," katanya.
Ceramahnya yang berlangsung satu jam itu juga mengungkapkan betapa interaksi fisika dan teknologi saat ini sangat menguntungkan fisika dan teknologi itu sendiri.
Spektrum perhatian fisika yang luas dari partikel elementer ke jagat raya yang mahaluas dan "kerukunan" fisika dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan sosial, menurut Tjia, memperlihatkan betapa fisika-meminjam ungkapan fisikawan terkenal Lord Rutherford-dapat dipandang seperti yang terungkap dalam "all science is either physics or stamp collecting" atau "ilmu itu hanyalah fisika, atau hanya main-main saja seperti mengumpulkan perangko."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar